Rabu, 21 Juli 2010

14 Tahun PRD: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Depan
Kamis, 22 Juli 2010 | 6:02 WIB
PRD
Tidak ada demokrasi di Indonesia. Demikian, kalimat monumental tersebut membuka Manifesto Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dideklarasikan tepat empat belas tahun yang lalu, 22 Juli 1996. Saat itu, di bawah kungkungan diktator militer, telah mulai terjuangkan sebuah cita-cita perubahan oleh sejumlah angkatan muda. Anak-anak muda ini mengimpikan Indonesia baru yang demokratis, lepas dari kediktatoran dan segala keburukan yang diciptakannya. Lebih jauh, impian ini tidak hanya disadurkan dalam bentuk konsep atau teks yang mati tapi juga dihidupkan dalam praktek dengan segala konsekuensi yang harus ditanggung. Sejarah mencatat cerita berlawan dengan pengorbanan dan liku-likunya yang terus terkenang dalam beragam interpretasi. Tuntutan demokratik yang terus dikumandangkan dalam lingkaran-lingkaran aksi, bacaan, dan diskusi-diskusi, kemudian bersahut-sahutan dalam gelombang perjuangan massa rakyat. Rezim Soeharto pun terguling.
Saat ini rakyat Indonesia telah berada dalam suatu fase yang baru dan berbeda di bandingkan masa kediktatoran. Tergulingnya Rezim Soeharto, selain melahirkan demokrasi multi partai, juga telah menjadi pertanda semakin dominannya kapital multinasional melalui rumus neoliberalisme. Demokrasi multi partai yang dicapai ternyata tidak seperti yang dibayangkan, karena kedaultan rakyat telah diletakkan sesempit kotak-kotak suara. Selebihnya adalah kedaulatan bagi modal dan penguasa politik. Kebebasan memilih diberikan pada massa rakyat yang puluhan tahun terdepolitisasi. Sementara tuntutan konsumsi yang berlebihan dipaksakan sebagai peganggan hidup yang berdampingan dengan proses pemiskinan rakyat. Politik uang menggantikan ideologi. Kehidupan sosial masyarakat semakin teratomisasi menjadi individu-individu yang terpisah, seperti dipaksa berjuang demi keselamatan ekonomi (atau hidup) masing-masing.
Eksploitasi neoliberalisme merupakan alam baru dengan tantangan baru yang membayangi perjalanan PRD akhir-akhir ini. Perjuangan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sosialistik sebagaimana dicita-citakan seperti tenggelam dalam hiruk-pikuk politik jargon di satu sisi, serta arus besar depolitisasi di sisi lain. Formasi sosial terus mengalami pergeseran oleh masifnya deindustrialisasi yang melempar kelas buruh industri dan petani menjadi barisan pengangguran atau pekerja paruh waktu. Hanya sayup terdengar heroisme perjuangan, yang gemanya belum sekuat perjuangan melawan kediktatoran rezim Soeharto.
Sejauh mana tantangan ini akan sanggup dilalui oleh PRD? Jawaban ‘termudah’ adalah dengan menyerahkan semua untuk dicatat oleh sejarah. Namun, pada kesempatan ini, sudah selayaknya bila PRD memberanikan diri untuk menelaah jawaban-jawaban tersulit. Contoh-contoh baik perlu terus dipelajari dan ditingkatkan. Sementara contoh-contoh buruk segera dimuseumkan bila tidak sekalian dimusnahkan. Diperlukan keberanian untuk coba meletakkan seluruh persoalan-persoalan secara jernih di atas meja, kemudian membedah dan menelitinya bersama dalam sikap yang terbuka dan korektif. Di sini pisau bedah dari berbagai ilmu pengetahuan, baik itu ilmu sejarah, ilmu ekonomi, ilmu politik, dan ilmu sosial budaya, perlu terus diasah melalui berbagai kajian, dan yang terpenting adalah wajib kembali dipadukan dalam praktek.
Akhirnya, kita sampaikan dirgahayu kepada Partai Rakyat Demokratik. Tumbuh dan semakin matanglah sebagai sandaran politik rakyat tertindas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar