Senin, 19 Juli 2010



Akhirnya dengan persetujuan DPR, pemerintah menaikkan harga Tarif Dasar Listrik (TDL) per 1 Juli 2010 yang besarnya berkisar antara 6-20%. Hanya dua kelompok pelanggan yang tidak mengalami kenaikan yakni pelanggan rumah tangga kecil dengan daya 450-900 VA karena dianggap tidak mampu serta pelanggan dengan daya di atas 6.600 VA karena sudah membayar TDL sesuai harga pasar.

Kenaikan TDL baik untuk rumah tangga maupun untuk industri meskipun diyakini tidak akan berpengaruh signifikan pada kenaikan barang produk industri, namun yang pasti kenaikan akan menyebabkan efek domino kenaikan TDL yang berawal dari kenaikan harga bahan baku di tambah berkurangnya daya beli konsumen. Para produsen dengan alasan kenaikan bahan baku dapat menaikan harga jual produk. Dan akhirnya pasti akan menyebabkan multiplier efek yang bermuara pada kenaikkan harga dan penurunan daya beli dan berujung pada penurunan produksi yang berdampak pada pemutusan hubungan karyawan/pengangguran.

Sesungguhnya alasan kenaikan ini selain tidak logis, juga mengorbankan rakyat banyak. Alasan kenaikan TDL adalah agar APBN-P 2010 telah tidak jebol atau mengalami defisit yang lebih besar. Seperti diketahui, dalam APBN-P 2010 yang diputuskan pada awal Mei lalu, subsidi listrik yang dianggarkan mencapai Rp 54 triliun. Untuk itu, diperlukan kenaikan TDL sebesar 10% untuk menutupi kebutuhan PLN akibat pengurangan subsidi sekitar Rp 10 triliun dari APBN 2009 sebesar Rp 64,46 triliun. Kebutuhan PLN harus disubsidi karena saat ini biaya yang dikeluarkan PLN untuk memproduksi listrik sekitar Rp 1.200 per kilowatt hour (KWh), sementara harga jual listrik BUMN listrik itu ke para pelanggannya hanya sekitar Rp 630 per Kwh.

Ide kenaikan TDL sesungguhnya diikuti juga dengan berbagai ide lain mengatasi dampak kenaikannya. Seperti diketahui, wacana listrik gratis untuk masyarakat miskin dicetuskan oleh Dirut PLN Dahlan Iskan. Listrik untuk masyarakat miskin gratis, namun untuk masyarakat mampu harus membayar sesuai harga keekonomiannya. Menurut perhitungan Dahlan, dengan memberikan seluruh subsidi kepada golongan masyarakat miskin (pengguna 450 mw) dan pembayaran normal atau sebesar biaya produksi listrik (Rp 1.000 per kwh) oleh golongan lain, maka PT PLN akan kehilangan dana sebesar Rp 1,5 triliun tetapi dapat penerimaan sekitar Rp 30 triliun.

PT PLN (Persero) mengaku kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) sebesar 10% pada bulan Juli 2010 masih belum bisa menutupi biaya pokok penyediaan (BPP) listrik yang dikeluarkan BUMN listrik tersebut. Kalau itu naik sebesar 10% berarti TDL-nya menjadi sekitar Rp 670 per Kwh. Jadi masih ada selisih. Namun kenaikan TDL sesungguhnya tidak membuat PT PLN diuntungkan maupun dirugikan. Hal ini karena kenaikan TDL dilakukan dengan tujuan untuk menekan subsidi listrik yang jumlahnya semakin membengkak dalam APBN. Bagi PT PLN sendiri, berapapun selisih antara BPP listrik dengan harga jual ke pelanggan itu kan akan dibayar dari dana subsidi dalam APBN.

Alasan lain pemerintah menaikkan harga TDL adalah karena hingga kini sekitar 18,9 juta keluarga miskin belum menikmati listrik. Untuk itu, kenaikan TDL pada bulan Juli mendatang diharapkan dapat meningkatkan jumlah masyarakat yang teraliri listrik. Menurut pemerintah, dengan kenaikan TDL sebesar 10%, sesungguhnya seluruh masyarakat yang sudah menikmati listrik termasuk pelanggan 450-900 Volt Ampere (VA) turut membantu pemerintah agar 18,9 juta keluarga miskin tersebut bisa ikut menikmati listrik.

Problematika Kelistrikan di Indonesia

Sesungguhnya persoalan kelistrikan di Indonesia adalah selain mahalnya biaya produksi listrik juga adalah kurangnya pasokan listrik sehingga banyak masyarakat yang tidak dapat menikmati aliran listrik listrik. Penyebab masalah diatas sesungguhnya adalah selain masalah inefisiensi, juga karena karena mahalnya bahan bakar pembangkit listrik yang berasal dari BBM serta pasokan bahan bakar pembangkit listrik yang tidak mencukupi. Jika bahan bakar pembangkit adalah BBM, maka kenaikan BBM pasti akan menyebabkan naiknya biaya produksi. Sebaiknya jika bahan pembangkitnya adalah batu bara dan gas yang harganya jauh lebih murah ternyata pasokan untuk kebutuhan dalam negeri justru tidak mencukupi, karena lebih banyak untuk kepentingan ekspor. Ini adalah hal yang sangat ironis.

Sesungguhnya mahalnya harga BBM dan kurangnya pasokan bahan baku pembangkit listrik dapat dengan mudah diatasi jika pemerintah menggunakan bahan baku yang murah dan pasokannya sangat besar. Bahan baku batu bara dan gas alam adalah solusi untuk mengatasinya, selain harga jauh lebih murah juga pasokannya sangat besar dan mencukupi. Namun kebijakan tersebut tidak diambil pemerintah. Bukankah pemerintah bisa membuat kebijakan untuk memberikan prioritas pasokan bahan baku industri dalam negeri ketimbang ekspor? Bukankah wewenang pengelolaan BUMN MIGAS ada pada pemerintah? Ataukah ada faktor lain sehingga seolah kebijakan energi yang ada tidak bisa di rubah?

Sebagai contoh, PT PLN (Persero) bersedia membeli gas dari proyek Donggi Senoro di Sulawesi Tengah dengan harga US$ 6-6,5 per millions metric british thermal unit (MMBTU). Bahkan PT PLN siap untuk menyerap berapa pun alokasi gas dari proyek Donggi Senoro. Rencananya, alokasi gas dari Donggi Senoro akan digunakan untuk bahan bakar pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) skala besar yang akan dibangun di dekat proyek tersebut. Listrik yang dihasilkan dari pembangkit tersebut akan digunakan untuk memperkuat listrik di Pulau Sulawesi. Bahkan kalau pasokan gasnya berlebih, sebagian akan digunakan untuk melistriki ambon dan sekitarnya.

Kebutuhan gas PLN terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2010 ini saja, BUMN listrik diperkirakan masih mengalami defisit. Berdasarkan data PLN, konsumsi gas PLN pada tahun ini diperkirakan mencapai 2.432 BBTUD, sementara yang tersedia baru 1.471 BBTUD sehingga masih terjadi defisit sebesar 961 BBTUD. Sementara pada tahun 2011 BUMN listrik itu masih mengalami defisit gas hingga sebesar 1.115 BBTUD meskipun Floating Storage and Regasification Terminal (FSRT) yang akan dibangun di Jawa Barat dan Sumatera Utara mulai beroperasi September 2011. Menurut Direktur Energi Primer PLN, Nur Pamudji, kenaikan jumlah defisit tersebut disebabkan kebutuhan gas untuk pengoperasian pembangkit-pembangkit listrik milik PT PLN meningkat. Selain itu, hal ini juga disebabkan adanya penurunan pasokan gas dari para produsen sebesar 70 BBTUD.

Namun pada saat PT PLN mengalami defisit pasokan gas, pemerintah telah mengesahkan alokasi gas dari lapangan Donggi-Senoro. Porsi gas domestik dari lapangan tersebut minimal 25 persen, sisanya untuk alokasi ekspor. Sebelumnya pemerintah nampaknya masih bingung untuk memutuskan alokasi gas Donggi-Senoro. Seperti diketahui, Proyek Donggi Senoro menjadi terkatung-katung karena adanya keputusan pemerintah dalam rapat yang dipimpin Wakil Presiden yang saat itu dijabat Jusuf Kalla yang memutuskan gas Senoro hanya untuk domestik.

Sungguh ironis, pada saat kebutuhan akan gas terutama dari PT PLN begitu besarnya, pemerintah justru mengalokasikan 75 % untuk ekspor. Padahal jika kebutuhan pasokan gas domestik mendapat prioritas, yakni didahulukan sebelum ekspor, maka kekurangan pasokan gas untuk PLN, Pabrik Pupuk dan pabrik lainnya akan terpenuhi. Ini secara pasti selain akan membuat harga produksi listrik turun, sehingga harga TDL tidak perlu dinaikkan atau bahkan mengurangi subsidi. Dengan ketersediaan bahan bakar pembangkit yang jauh lebih murah dan sangat besar, maka pemerintah melalui PT PLN dapat segera memperbesar kapasitas produksi listrik dan ini akan segera dapat mengatasi kekurangan pasokan serta menambah luasnya jangkauan pelayanan listrik kepada masyarakat.

Kebijakan pemerintah yang merubah keputusan alokasi gas Donggi Senoro dari awalnya 100% untuk keperluan domestik dirubah menjadi 25 % domestik dan 75% ekspor patut dicurigai. Kenapa pemerintah tidak mendahulukan kepentingan rakyat banyak dengan alokasi bahan bakar gas untuk PT. PLN yang lebih besar. Apakah karena ada kepentingan para pemungut rente yang tidak ingin kehilangan penghasilannya dari pasokan BBM ke PT. PLN selama ini? Juga apakah ada kepentingan pemungut rente karena komisi dari penjualan ekspor gas keluar negeri? Hal ini menjadi sangat mungkin mengingat besarnya rente yang akan dinikmati para makelar yang mengatasnamakan kebijakan negara. Padahal kebijakan tersbut semata-mata untuk kepentingan para pemungut rente dari kalangan pengusaha atau pemerintah yang tidak ingin penghasilan haram mereka hilang. Sehingga mereka rela mengorbankan kepentingan rakyat banyak dengan kebijakan yang mereka tempuh.

Sungguh, inilah dampak nyata dari sistem kapitalis yang menyuburkan kolusi antara pengusaha dan pengusaha. Terbentuknya negara koorporasi karena ada perselingkuhan antara pejabat korup dengan pengusaha hitam yang ingin meraup kekayaan sebesarnya dengan menghalalkan segala cara bahkan dengan harus mengorbankan rakyat banyak. Dengan dalih untuk kepentingan negara mereka membuat peraturan dan perundangan yang dapat melegalkan berbagai langkah dan kebijakan yang mereka tempuh. Dengan alasan amanah UU tentang kenaikan TDL, mereka dengan ringannya menaikkan TDL. Dengan dalih demi mengurangi defisit anggaran mereka rela menaikkan TDL. Dan dengan alasan investor asing, mereka rela menyerahkan pengelolaan tambang migas dan tambang-tambang lainnya kepada pihak asing dan pengusaha perorangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar