Pergantian Kapolri
Rabu, 21 Juli 2010 | 2:35 WIB
Editorial Berdikari Online
Editorial Berdikari Online
Pergantian Kapolri merupakan salah satu persoalan yang strategis di negeri ini. Dalam UU No. 2/2002 pasal 11 disebutkan, Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Karenanya, tidak mengherankan bila partai-partai politik di parlemen mencoba membangun opini tentang pencalonan Kapolri ini kendati pergantian Kapolri baru akan dilakukan pada bulan November 2010. Pemerintah sendiri mengaku belum membahas persoalan ini, namun DPR telah mewanti-wanti kepada pemerintah agar tidak mengajukan calon tunggal. Di internal Kepolisian sendiri, dimana Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) merasa dilangkahi, Mabes Polri yang melalui Bambang Hendarso Danuri telah mengirimkan surat usulan kepada presiden bakal calon Kapolri baru.
Jika menilik perjalanan kepolisian, dalam rentang tiga tahun terakhir ini, dibawah kepemimpinan Bambang Hendarso Danuri, kebobrokan-kebobrokan Polri semakin kasat mata di hadapan rakyat. Mulai dari kasus pertarungan Cicak vs Buaya, Rekening Gendut Pejabat-Pejabat Polri, tindakan represif di berbagai daerag saat menangani protes sosial (Buol, Buton, Suluk Bongkal, Banggai, dsb) serta perilaku-perilaku yang bertentangan dengan semangat demokrasi lainnya. Belum lagi tingkah laku polisi yang masih sering melakukan “pungli” di jalan raya, yang sejak jaman rejim Soeharto hingga sekarang ini belum sanggup diberantas. Bahkan, keberhasilan Densus 88 dalam “menumpas terroris” belum juga mengobati rasa kecewa dari masyarakat luas.
Rakyat Indonesia masih merindukan sosok Hoegeng Imam Santoso, seorang Kapolri yang bersih, berani, jujur dan bersahaja. Beliau seorang yang pantas diteladani oleh seluruh polisi di nusantara. Dengan masa tugas yang relative singkat (9 Mei 1968 – 2 Oktober 1971), tapi mampu membuat gebrakan yang sangat signifikan, salah satunya, adalah tentang penggunaan helm bagi sepeda motor. Dia melakukan penegakan hukum tanpa pandang bulu, membuat banyak pejabat korup dan pengusaha “hitam” merasa ketir terhadap sang Kapolri ini. Tapi sungguh ironis, karena kejujuran dan keteguhannya dalam menjalankan tugas itulah, beliau justru diberhentikan oleh Soeharto sebelum masa tugasnya usai dikarenakan hendak menangkap seorang penyelundup besar yang merupakan kroni Soeharto.
Sudah 19 kali pergantian Kapolri di republik ini. Jika sebelumnya pemerintah selalu mengajukan calon tunggal, maka sekarang pemerintah dituntut mengajukan banyak calon. Tentunya saja, calon-calon yang diajukan harus bersih dari pelanggran HAM, tidak punya rekaman buruk dalam persoalan demokrasi, bersih dari korupsi, tidak menjadi alat kekuasaan dan pengusaha hitam, dan yang lebih penting lagi adalah Kapolri harus dapat dukungan dari prajurit rendahan.
Untuk dapat meralisasikan syarat-syarat tersebut, maka Kompolnas harus melakukan survai kepada seluruh anggota kepolisian sebelum mengajukan calon kepada presiden. Kami sangsi syarat-syarat tersebut dapat dipenuhi oleh para pejabat tinggi kepolisian, oleh karenanya salah satu hal yang sangat penting juga menurut kami, bahwa Kapolri tidak harus Jenderal!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar