Senin, 02 Agustus 2010

Bersatu untuk Merdeka

Senin, 2 Agustus 2010 | 18:06 WIB
Oleh : Gede Sandra
“Mari Bung Rebut Kembali!”(potongan syair lagu Halo-Halo Bandung)
Hanya sebagian warga negara saja yang merasa bahwa Indonesia belum merdeka, sebagian lagi tidak sadar. Memang tegas dikatakan dalam preambule UUD 1945, bahwa Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, namun kini seperti ada sebagian bangsa yang mendominasi bangsa lainnya. Bangsa atau nasion hanya merupakan warna dari negara berdaulat. Menjadi problem sebagian bangsa di dunia pula: kedaulatannya terancam. Di Asia Tenggara, praktis hanya Indonesia dan Philipina yang cukup tertinggal. Mengapa, di negeri yang sudah merdeka 65 tahun, Indonesia (bersama Philipina) masih terus mengekspor tenaga kerja rendah keahlian, itu adalah sebuah pertanyaan yang hendak kita gugat. Kita, yang sehari-hari hidup sebagai layaknya aktivis di negeri dunia ketiga, jujur merasa bahwa nasion kita memang masih belum memiliki kedaulatannya sendiri.
Usia 65 tahun adalah usia yang masih muda bagi suatu nasion yang berpenduduk besar seperti Indonesia. Selama rentang sependek itu, terjadilah 5 tahun (1945-1949) revolusi fisik dan reformasi diplomasi, 9 tahun liberalisasi politik yang tidak bertanggung jawab, dan 6 tahun (1949-1965) kontradiksi kelas buruh-tani melawan tentara-pemodal asing, yang akhirnya pemodal sukses menumbangkan figur Sukarno. Jenderal Suharto, figur new order selama 32 tahun (1965-1998) berikutnya telah terlampau banyak mendistorsi sejarah nasion dan melembagakan korupsi terlalu masif hingga ke kampung-kampung. Demokrasi jelas bukan barang langka bagi Suharto, dia adalah tirani militer sayap kanan yang paling sukses dan dibanggakan kaum imperialis – karena penghisapan habis-habisan SDA dan tenaga buruh kita. Terakhir adalah 12 tahun yang dilematis, berbicara rakyat tapi masih terus mengemban mazhab neoliberal.
Para guru bangsa seperti Gus Dur dan Megawati memang tidak simpatik terhadap arah ekonomi kanan ini, tetapi sayang tidak serius melakukan konfrontasi terbuka dengannya. SBY, karena patuhnya pada Amerika Serikat, sebagian intelektual menjuluki menantu Sarwo Edhie ini sebagai gubernur jenderal nya Bank Dunia dan IMF. Jangan-jangan benar lah berita bahwa, Indonesi adalah negara bagian ke 52 Amerika Serikat. Papua adalah negara bagian ke 51.
Bagi SBY tidak ada peluang untuk bicara kemandirian bangsa tanpa konfrontasi dengan ExxonMobil, Chevron, Freeport, dll. Jika SBY kelu lidahnya di depan barat, maka dari rakyat sendiri akan lahir tokoh yang bersuara untuk kedaulatan rakyat atas tanah dan segala isinya seperti diatur Pasal 33 UUD 1945. Hanya anak-anak muda lah yang berani melawan imperialisme tepat di jantung hatinya. Tokoh itu akan lahir dari kampung-kampung miskin, mereka adalah anak-anak kandung neoliberalisme.  Ingat, SBY bukan penghujung sejarah bangsa ini, akan ada calon-calon penggulingnya. Menyitir Bung Karno, Indonesia tidak akan cuma berumur 65 tahun, 70 tahun, atau 80 tahun, melainkan kalau bisa Indonesia akan terus bersatu hingga 1000 tahun lamanya. Bersatu untuk selama-lamanya.
Bersatu
Bersatu adalah berbicara tentang bagaimana kita melakukan formasi. Di dalam lapangan diplomasi untuk persatuan, tidak perlu melulu kita tonjolkan perbedaan-perbedaan arah kita. Kita ini besatu untuk melawan penjajah dan kaki tangannya, rakyat harus paham hal itu- bukan melawan antar kawan. Tidaklah perlu berlawan pada kawan. Karena penyakit eksistensialis juga lah, paska reformasi tidak ada suatu persatuan di kalangan gerakan rakyat dan intelektual yang cukup menonjol. Dalam kerangka formasi, kebanyakan aktivis measih memandang bahwa ia memiliki perbedaan cara pandang, itulah yang kurang tepat.
Dalam bersatu kita harus memprioritaskan unsur-unsur yang sama yang dapat dikerjakan bersama sesaat ke depan dulu. Jika akhirnya front memiliki kerjasasama jangka panjang, mungkin akan lebih mudah jika kesemuanya fusi menjadi sebuah gerakan politik tunggal, apakah itu ormas atau partai politik tergantung keinginan para perintis persatuan tersebut. Yang paling inti adalah bagaimana setiap aktivis dapat menjadi pemersatu, pencipta persatuan antara rakyat dengan rakyat, rakyat dengan mahasiswa, rakyat dengan pengusaha progresif, dan rakyat dengan cendikia.  Tugas persatuanlah untuk selalu mencerdaskan rakyat, karena rakyat yang cerdas adalah pembuka pintu gerbang nasion menuju kemakmuran.
Adalah tugas sejarah bagi kaum muda untuk bersatu. Menghilangkan segala perbedaan, dan sebanyak mungkin menggali persamaan. Karena, tanpa perlu kita tonjol-tonjolkan juga, perbedaan adalah lumrah. Yang sulit adalah mencari unsur yang identik di tengah kemelut perbedaan cara pandang. Bersatu juga adalah suatu perjuangan tersendiri yang amat teramat sangat melelahkan. Tapi, jika kelak lahirlah itu persatuan, maka jalan untuk kedaulatan semakin ringkas. Zaman adil itu akan datang, tidak lama lagi. Bagi segenap kaum republiken, mari  kita bersatu untuk rebut kembali kemerdekaan nasion.
Dirgahayu Republik Indonesia ke-65, Merdeka!!
*) Penulis adalah Sekretaris Jenderal Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar