Senin, 02 Agustus 2010

Kebebasan Berkeyakinan

Selasa, 3 Agustus 2010 | 11:29 WIB
Kekerasan karena perbedaan keyakinan kembali terjadi di dua tempat baru-baru ini. Masing-masing yang menjadi “korban langsung” adalah pengikut Ahmadiyah di Kuningan Jawa Barat (28/7), dan jemaat HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) di Bekasi (01/8). Dari kejadian-kejadian semacam ini kita mengetahui peran negatif negara di balik kasus-kasus yang terjadi. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia sebenarnya telah menjamin adanya kebebasan berkeyakinan. Hal ini sesuai dengan semangat dasar atau konsensus berbangsa yang berangkat dari keragaman keyakinan dan tradisi. Lebih jauh, berkeyakinan merupakan capaian tiap-tiap manusia dalam menyimpulkan pengetahuannya, sehingga tak bisa diatur oleh instrumen kekerasan apapun. Namun sejumlah peraturan yang bertentangan dengan konstitusi tampaknya sengaja dibuat dan dilestarikan. Negara cq pemerintah justru menggunakan perangkat kekerasan untuk memaksa “tak boleh ada” nya suatu keyakinan yang kenyataannya sudah ada.
Sementara, di luar masalah keyakinan—yang sebenarnya berada jauh dalam pikiran setiap orang, hal-hal pelik masih meliliti kehidupan rakyat setiap hari. Kemiskinan begitu nyata sehingga kita sulit mengelak, meski hanya sehari, di antara realitas sekarang. Ketidakadilan sosial kita temukan di dunia informasi maupun melalui kontak langsung. Kita saksikan ekonomi rakyat yang semakin terpuruk karena penjajahan baru oleh pihak asing yang berkomplot dengan segelintir orang dari bangsa sendiri. Penyelesaian atas persoalan penjajahan baru ini membutuhkan suatu konsentrasi tersendiri, terutama untuk menghimpun persatuan nasional, menjawab persoalan kebangsaan secara lebih menyeluruh dan fundamental.
Sebagaimana digambarkan para ahli sejarah, Nusantara merupakan negeri maritim yang terbuka terhadap perkembangan budaya dan ilmu pengetahuan dari berbagai peradaban di dunia. Keterbukaan dalam hal interaksi budaya merupakan konsekuensi dari posisi geografisnya yang berada di antara peradaban besar tersebut. Lebih lanjut keterbukaan ini membawa pencampuran tradisi dan keyakinan yang beraneka ragam. Apalagi, sebelum pengaruh peradaban India maupun Tiongkok masuk ke Nusantara, telah ada bermacam-macam keyakinan yang dilestarikan secara turun-temurun, dan berada di pulau-pulau yang terpisah. Jadi sangat bisa dipahami, bila ada data menyebutkan di Indonesia terdapat ratusan kepercayaan, dan sebagian dari kepercayaan tersebut masih punya penganut hingga kini. Para penganut ini secara faktual merupakan warga negara Republik Indonesia, sah, tak berbeda dengan yang lain.
Oleh karena itu, sepanjang suatu keyakinan memiliki penganut di negeri ini maka negara berkewajiban menjaga dan melindungi penganut tersebut. Kenyataan adanya peraturan perundang-undangan yang masih membatas-batasi masalah keyakinan merupakan suatu keputusan yang ahistoris di satu sisi, dan kekacauan sistem pemerintahan di sisi yang lain. Memang aneh, di tengah tensi konflik horisontal yang meningkat pesat dalam paruh tahun ini, presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak tampak bertindak apapun. Sementara pemerintahan lokal dan atau aparatus terkait cenderung melepas tangan, atau justru mengambil keuntungan pragmatis dengan memanfaatkan keadaan tersebut.
Kami berharap agar rakyat Indonesia tidak mudah terprovokasi oleh kejadian-kejadian seperti ini, dan tetap berkonsentrasi pada persoalan yang lebih fundamental yaitu persoalan ekonomi-politik bangsa yang terjajah ini. Kami juga menuntut pemerintahan SBY-Boediono untuk secepat-cepatnya mengambil langkah tegas, mencabut seluruh peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi—yang menjamin kebebasan berkeyakinan. Namun langkah formal ini tidak akan berarti apa-apa bila hal kayakinan dan keagamaan masih digunakan sebagai instrumen politik oleh penguasa melalui cara yang berbeda. Sampai di sini dibutuhkan kejernihan mengungkap asal-usul konflik sebagai ekspresi dari suatu sistem ekonomi yang menindas. Penindasan itu lahir dari penjajahan, dan penjajahan senantiasa berharap adanya perpecahan di kalangan pihak yang dijajah. Jadi, tepat kiranya jika menghadapi kasus ini turut kami serukan cukup sudah politik mengadu-domba rakyat, mari bersatu lawan penjajahan baru!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar