Senin, 19 Juli 2010

Perang Melawan Teroris Gas Elpiji (LPG)

Oleh: Rudi Hartono

Saat saya sedang menuliskan artikel ini, sebuah ledakan kompor gas terjadi di Ciawi, Kabupaten Tasikmalaya, yang menyebabkan seorang penjual nasi goreng terkena semburan api dan sekujur tubuhnya terbakar. Hampir setiap hari terjadi ledakan kompor gas dan itu selalu menimbulkan korban. Tidak mengherankan, penggunaan kompor gas telah menciptakan terror baru yang menakutkan bagi warga masyarakat.

Jika mau dibanding-bandingkan, ledakan kompor gas setiap hari di Indonesia tidak kalah menakutkan dibanding aksi bom para teroris, atau bahkan bila dibandingkan dengan serangan bom bunuh diri di Irak dan Afghanistan. Jika yang disebut terakhir memang terencana dan ditetapkan pada sasaran tertentu, maka ledakan kompor gas tidak terencana dan dapat mengarah kepada siapapun.

Jika menyimak data serangan teroris di Indonesia versi Wikipedia, dari tahun 2000 hingga 2010, terdapat sedikitnya 24 kali serangan teroris. Bandingkan dengan jumlah ledakan kompor gas, yang menurut Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) sejak 2008-Juli 2010, telah terjadi terjadi 189 kasus ledakan gas, dengan perincian 61 kasus pada 2008, 50 kasus pada 2009 dan 79 kasus pada 2010.

Ya, ledakan kompor gas memang tidak digerakkan oleh kelompok fanatik tertentu, namun sangat terkait dengan sebuah desain kebijakan ekonomi dan politik. Korbannya pun sebagian besar bukan orang asing ataupun pejabat negara, melainkan rakyat miskin yang terbiasa dengan kehidupan ekonomi pas-pasan; rumah tangga miskin, tukang gorengan, tukang bakso, tukang mie ayam, warung makan sederhana, dan lain sebagainya.

Dan, karena korbannya rakyat miskin yang lemah, maka pemerintah pun sepertinya tidak terlalu ambil pusing, karena toh tidak ada ancaman travel warning, investasi memburuk, pembatalan event berskala internasional, hingga sepinya pengunjung hotel, café, dan restoran mewah. Namun, apapun yang menjadi argumentasinya, nyawa seorang manusia tidak boleh dikorbankan sia-sia hanya karena gas elpiji.

Jusuf Kalla, pencetus ide konversi minyak tanah ke gas, menyatakan bahwa ledakan gas terjadi karena adanya faktor kelalaian dari pihak pengguna. Penjelasan itu tidak bisa ditelan oleh rakyat miskin. Sebab, jika dikaitkan dengan persoalan perilaku, bukankah pemerintah juga punya kewajiban untuk melakukan sosialisasi secara maksimal kepada masyarakat.

Untuk menanggapi hal ini, berbagai pihak pun mengajukan berbagai argumentasi yang beragam.

Pihak Badan Standarisasi Nasional (BSN) mengatakan, bahwa penelitian menunjukkan ledakan gas yang kerap terjadi belakangan ini bukan disebabkan oleh tabungnya yang bermasalah, namun dikarenakan aksesoris dan kompor gas, misalnya elang, rubber seal di dalam katup, katup, regulator dan kompor.

Untuk memperkuat argumentasinya, pihak BSN pun mengajukan data, bahwa 20 persen regulator, 50 persen kompor gas, 66 persen katup tabung, dan 100 persen selang yang diuji tidak memenuhi syarat mutu SNI.

Pendapat BSN diperkuat pula oleh penyelidikan Asosiasi Industri Tabung Baja (Asitab), yang menyatakan bahwa sekitar 21 persen dari sedikitnya 48 kasus kebakaran akibat kebocoran pada selang karet di tabung gas.

Baiklah, kita bisa saja menerima semua penjelasan itu, meskipun pada tataran yang sangat teknis, namun ada persoalan ekonomi dan politik yang tak dapat dilupakan. Pertama, ada logika “profit” yang mengantarai bisnis gas di Indonesia, termasuk dalam distribusi tabung gas dan isinya di Indonesia. Kedua, sikap lepas tangan negara dalam persoalan distribusi tabung gas dari produsesn ke konsumen.

Ketika manusia diperantarai oleh uang, dan keuntungan menjadi tujuan utamanya, maka persoalan kolektif atau “bersama” akan terkesampingkan, termasuk dalam persoalan keselamatan rakyat banyak. Dalam kasus ini, meskipun pasar bisa menjadikan selera konsumen sebagai selektor terhadap setiap jenis barang dan jasa yang diperdagangkan, namun itu akan bermasalah saat konsumen kurang pengetahuan atau kemampuannya sangat terbatas dalam memilih jenis barang.
 
Orang miskin tentu akan lebih sulit untuk memilih jenis tabung berkualitas dan aksesoris pengamannya bila harganya mahal. Dan, pernyataan dari pihak pertamina, dalam hal ini Deputi Direktur Pemasaran PT Pertamina, Hanung Budya, sangat membenarkan kesimpulan di atas. Hanung Budya mengatakan, dalam waktu dua tahun setelah konversi, maka "kompor, tabung gas, dan regulator sudah mulai aus atau rusak sehingga kemungkinan meledak semakin besar. Dalam kondisi demikian, sebagian pengguna tabung gas tidak mampu membeli peralatan baru karena mereka tergolong warga miskin yang penghasilannya terbatas.

Dengan potensi pangsa pasar sekitar 65 juta rumah tangga, maka Indonesia tentu menjadi pasar yang sangat menggiurkan bagi produsen tabung gas, termasuk pihak-pihak tertentu yang ingin merebut “keuntungan seketika” dengan memproduksi tabung palsu.

Selain itu, pasar selalu gagal untuk memerangi pemalsuan, penyelundupan dan sabotase ekonomi, sementara rakyat atau konsumen sangat dirugikan oleh praktik tersebut. Dalam beberapa hal, alat efektif untuk memerangi penyelundupan dan sabotase ekonomi adalah negara dan aparatusnya beserta rakyat banyak.

Sekali lagi, karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak, negara seharusnya mengambil peran yang lebih luas. Negara tidak saja harus bertindak sebagai penjaga pasar seperti peran-peran sebelumnya, namun harus bertindak lebih jauh sebagai institusi yang melayani segala kebutuhan dasar rakyatnya, termasuk memproduksi dan mendistribusikan tabung gas dan kompor murah dan aman kepada rakyat.

Kita akan segera bertanya, kenapa pemerintah bertindak sangat lamban dalam mengantisipasi persoalan ini, sebuah perlakuan yang berbeda ketika pemerintah mengejar gembong teroris Dr. Ashari, dkk. Apakah karena yang menjadi korban adalah orang miskin?
Apa Neoliberalisme Itu? 
* Amerika Latin
* Analisa
* Ekonomi Politik

 Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia

"Neo-liberalisme" adalah seperangkat kebijakan ekonomi yang meluas sejak sekitar 25 tahun terakhir ini. Walaupun kata tersebut jarang didengar di Amerika Serikat, Anda dapat melihat efek neoliberalisme secara jelas di sini dengan yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. "Liberalisme" dapat mengacu pada ide-ide politik, ekonomi, atau bahkan relijius. Di AS, liberalisme politik merupakan strategi untuk menghindari konflik sosial. Ia dipresentasikan kepada rakyat miskin dan pekerja sebagai sesuatu yang progresif dibandingkan konservatif atau sayap Kanan. Liberalisme ekonomi berbeda. Politikus konservatif yang mengatakan bahwa mereka membenci kaum "liberal" -- artinya dalam hal politik -- tidak memiliki masalah dengan liberalisme ekonomi, termasuk neoliberalisme.

"Neo" berarti kita membicarakan jenis baru liberalisme. Jadi apa jenis lamanya? Pemikiran ekonomi liberal menjadi terkenal di Eropa ketika Adam Smith, seorang pakar ekonomi Skotlandia, menerbitkan buku pada 1776 berjudul THE WEALTH OF NATIONS. Ia dan beberapa lainnya mengadvokasikan penghapusan intervensi pemerintah dalam masalah perekonomian. Tidak ada pembatasan dalam manufaktur, tidak ada sekat-sekat perdagangan, tidak ada tarif, katanya; perdagangan bebas adalah cara terbaik bagi perekonomian suatu bangsa untuk berkembang. Ide-ide tersebut "liberal" dalam arti tidak ada kontrol. Penerapan individualisme ini mendorong usaha-usaha "bebas", kompetisi "bebas" -- yang kemudian artinya menjadi bebas bagi kaum kapitalis untuk mencetak keuntungan sebesar yang diinginkannya.

Liberalisme ekonomi berlangsung di Amerika Serikat sepanjang 1800an dan awal 1900an. Kemudian Depresi Besar tahun 1930an membuat seorang pakar ekonomi bernama John Maynard Keynes merumuskan sebuah teori yang menyangkal liberalisme sebagai kebijakan terbaik bagi kaum kapitalis. Ia berkata, pada intinya, bahwa kesempatan kerja penuh (full employment) dibutuhkan agar kapitalisme tumbuh dan itu hanya dapat dicapai bila pemerintah dan bank sentral melakukan intervensi untuk meningkatkan kesempatan kerja. Ide-ide ini banyak mempengaruhi program New Deal Presiden Roosevelt -- yang sempat memperbaiki kehidupan banyak orang. Keyakinan bahwa pemerintah harus menomorsatukan kepentingan umum diterima secara meluas.

Tapi krisis kapitalis selama 25 tahun terakhir, dengan penyusutan tingkat profitnya, menginspirasikan para elit korporasi untuk menghidupkan kembali liberalisme. Inilah yang menjadikannya "neo" atau baru. Kini, dengan globalisasi ekonomi kapitalis yang pesat, kita menyaksikan neo-liberalisme dalam skala global.

Definisi yang berkesan tentang proses ini datang dari Subcomandante Marcos di Encuentro Intercontinental por la Humanidad y contra el Neo-liberalismo (Pertemuan Antar-Benua untuk Kemanusiaan dan Melawan Neo-liberalisme) pada Agustus 1996 di Chiapas ketika ia mengatakan: "apa yang ditawarkan kaum Kanan adalah mengubah dunia menjadi sebuah mal besar di mana mereka dapat membeli kaum Indian di sini, perempuan di sana..." dan ia dapat juga menambahkan, anak-anak, imigran, pekerja atau bahkan seluruh negeri seperti Meksiko."

 

Pokok-pokok pemikiran neo-liberalisme mengandung:

1. KEKUASAAN PASAR. Membebaskan usaha "bebas" atau usaha swasta dari ikatan apa pun yang diterapkan oleh pemerintah (negara) tak peduli seberapa besar kerusakan sosial yang diakibatkannya. Keterbukaan yang lebih besar bagi perdagangan internasional dan investasi, seperti NAFTA. Menurunkan upah dengan cara melucuti buruh dari serikat buruhnya dan menghapuskan hak-hak buruh yang telah dimenangkan dalam perjuangan bertahun-tahun di masa lalu. Tidak ada lagi kontrol harga. Secara keseluruhan, kebebasan total bagi pergerakan kapital, barang dan jasa. Untuk meyakinkan kita bahwa semua ini baik untuk kita, mereka mengatakan bahwa "pasar yang tak diregulasi adalah cara terbaik meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang akhirnya akan menguntungkan semua orang." Itu seperti ekonomi "sisi persediaan" (supply-side)dan "tetesan ke bawah" (trickle-down) yang dijalankan Reagan -- tapi kekayaannya sedemikian rupa tidak banyak menetes.

2. MEMANGKAS PEMBELANJAAN PUBLIK UNTUK LAYANAN SOSIAL seperti pendidikan dan layanan kesehatan. MENGURANGI JARINGAN-PENGAMANAN BAGI KAUM MISKIN, dan bahkan biaya perawatan jalanan, jembatan, persediaan air -- lagi-lagi atas nama mengurangi peran pemerintah. Tentunya, mereka tidak menentang subsidi dan keuntungan pajak bagi bisnis besar.

3. DEREGULASI. Mengurangi regulasi pemerintah terhadap segala hal yang dapat menekan profit, termasuk perlindungan lingkungan hidup dan keamanan tempat kerja.

4. PRIVATISASI. Menjual perusahaan-perusahaan, barang-barang, dan jasa milik negara kepada investor swasta. Ini termasuk bank, industri kunci, perkereta-apian, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit dan bahkan air bersih. Walau biasanya dilakukan atas nama efisiensi yang lebih besar, yang sering dibutuhkan, privatisasi terutama berdampak pada pengonsentrasian kekayaan kepada pihak yang jumlahnya semakin sedikit dan menjadikan khalayak umum harus membayar lebih untuk kebutuhannya.

5. MENGHAPUS KONSEP "BARANG PUBLIK" atau "KOMUNITAS" dan menggantikannya dengan "tanggung-jawab individu." Menekan rakyat yang termiskin dalam masyarakat untuk mencari solusi sendiri terhadap minimnya layanan kesehatan, pendidikan dan keamanan sosial mereka -- kemudian menyalahkan mereka, bila gagal, karena "malas."

Di penjuru dunia, neo-liberalisme didesakkan oleh institusi-institusi finansial besar seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Inter-Amerika. Ia merajalela di penjuru Amerika Latin. Contoh pertama pelaksanaan neoliberalisme secara terang-terangan terdapat di Chile (berkat pakar ekonomi Universitas Chicago, Milton Friedman), setelah kudeta dukungan-CIA terhadap rejim Allende yang dipilih rakyat pada 1973. Negeri-negeri lainnya menyusul, dengan sebagian dampak terburuknya di Meksiko, di mana upah menurun 40-50% dalam tahun pertama NAFTA sementara biaya hidup naik 80%. Lebih dari 20.000 bisnis kecil dan sedang menderita kebangkrutan dan lebih dari 1000 perusahaan milik negara diprivatisasi di Meksiko. Sebagaimana dikatakan oleh seorang akademisi "Neoliberalisme berarti neo-kolonisasi Amerika Latin."

Di Amerika Serikat neo-liberalisme menghancurkan program-program kesejahteraan; menyerang hak-hak buruh (termasuk semua pekerja migran); dan memangkas program-program sosial. "Kontrak" Partai Republikan terhadap Amerika adalah murni neo-liberalisme. Para pendukungnya bekerja keras menolak perlindungan terhadap anak-anak, pemuda, perempuan, planet itu sendiri -- dan mencoba menipu kita agar menerimanya dengan mengatakan bahwa ini akan "menyingkirkan beban pemerintah dari pundak saya." Pihak yang diuntungkan oleh neo-liberalisme hanyalah minoritas rakyat dunia. Bagi mayoritas besarnya ia membawa lebih banyak penderitaan daripada sebelumnya: menderita tanpa capaian kecil yang susah payah dimenangkan dalam 60 tahun terakhir, penderitaan tiada henti.

-------------

Elizabeth Martinez telah lama dikenal sebagai aktivis hak-hak sipil dan penulis beberapa buku termasuk "500 Years of Chicano History in Photographs."

Arnoldo Garcia adalah anggota Comite Emiliano Zapata yang bermarkas di Oakland dan berafiliasi dengan Komisi Nasional untuk Demokrasi di Meksiko.

Kedua penulis adalah anggota Jaringan Nasional untuk Hak-hak Imigran dan Pengungsi; mereka juga menghadiri Pertemuan Antar-Benua untuk Kemanusian dan Melawan Neoliberalisme, yang digelar 27 Juli - 3 Agustus 1996 di La Realidad, Chiapas

--------------------------

-------------------------------------------------------------------------------
Diambil dari CorpWatch
Diterjemahkan oleh NEFOS.org
Kaca Benggala: Sumpah Palapa 
 
Oleh: Agus Jabo Priyono*)
Ibarat pepatah, sebagai sebuah bangsa kita sedang berlayar dengan perahu besar, melawan gelombang liar. Dikurung langit yang tlah menggumpal hitam, sebentar lagi badai pasti datang. Terombang-ambing, dihempas, gulungan ombak yang ganas. Rombongan manusia besar, di geladak duduk berjajar, bingung, ada yang terpekur murung, yang lain memekik meraung-raung. Bahan makanan menipis, harta benda yang kita punya tiada lama lagi akan habis. Perompak, kapal kita penuh perompak. Berpesta pora, merampas segalanya, meludahi harga diri kita.
Bertekuk lutut nakhoda, dengan seluruh awak kapalnya, ketakutan, menyerah tanpa perlawanan.
Jika terus begini, lambat-laun kita akan musnah dan mati di tengah-tengah samudera ini. Mengubur semua kenangan indah yang pernah terukir di atas peta kehidupan. Terhapus bayang-bayang dalam cakrawala.
Bukalah mata! Amati mereka. Bergema detak jantung mereka. Resah, dalam bilik hatinya yang terkurung, akan menggumpal jadi amarah. Putus asa. Tiada lagi yang dipercaya. Juga diri mereka. Amuk, tinggal tunggu waktu saja.
Dalam keputusasaan, di lubuk hati terdalam, pastilah ada yang ingin memilih kabur, dengan sekoci memisahkan diri, mencari selamat sendiri-sendiri, meninggalkan saudara-saudaranya sendiri. Tapi itupun tiada guna. Ombak yang tak bermata itu pasti menghantam siapa saja. Tenggelam sebelum sampai di tujuan.
Perahu besar ini milik kita! Warisan leluhur kita. Tanggung jawab kita semua untuk menjaganya. Menghadapi ombak dan badai sehebat apapun, menghajar bajak laut penjarah dengan segala kekuatan yang terhimpun. Harapan, bangun terus harapan, pantang surut selamat hayat masih dikandung badan.
Kita keturunan armada Sriwijaya, yang memburu para perompak sampai ke sarangnya.
Tipu muslihat awal segalanya, sudah hafal kita dengan itu semua. VOC datang pura-pura berdagang. Ujungnya menjarah, akhirnya menjajah. Menerobos masuk, menundukkan harga diri kita, menurunkan panji-panji kebanggaan kita semua. Gerombolan seperti mereka hanya memburu, memburu dengan penuh nafsu, keuntungan, mereka memburu keuntungan. Jangan pernah percaya mulut manis mereka. Mereka adalah keturunan setan, dengan berbagai wujud, tanpa perikemanusiaan. Memberi hutang atau bantuan, akan tetapi mereka memiliki tujuan yang tersimpan. Penjarahan!
Tunduk dengan gerombolan perompak maupun maling, adalah kekalahan, asor, lembek seperti getuk busuk. Hanya akan menempatkan bangsa kita menjadi langganan, sasaran perampokan. 
Itu perahu Nusantara, banyak harta bendanya, awaknya pengecut, nakhodanya seperti badut! Jarah, rampok, perkosa, buang ke laut siapa saja yang menghalanginya. Itulah semboyan mereka.
Perahu Nusantara, dikuasi perompak banyak malingnya.
Jangan pernah takut, nenek moyang kita pelaut. Penguasa laut, raja laut, ratu laut, para pelindung kita. Bertempurlah seperti armada Sriwijaya. Kita semua Lembu Peteng! Bapak kita para Dewa. Ken Arok, kitalah Ken Arok, Modo, Joko Modo, Gajah Mada, kitalah Gajah Mada. Setia kepada Sumpah Palapa!
Jasmerah! Dulu, saat kita merdeka hanya tiga hal yang kita miliki: bendera merah putih, lagu Indonesia Raya dan kobaran api semangat menggelora dalam dada untuk merdeka. Hanya itu modal kita! Milik kita, tapi kita merdeka.
Hanya dengan kain dan lagu, kita merdeka, bangkit membangun bangsa.
Jalan panjang kehidupan generasi sebelum kita sudah penuh. Penuh catatan, penuh cerita, lengkap pengalaman, suka maupun duka. Penuh! Penuh perjuangan, penuh pertentangan. Mestinya kita telah matang serta dewasa.
Kaca benggala, cermin sejarah bangsa kita. Sejarah perjalanan perahu besar, di tengah ombak, di tengah lautan. Abad VII, babad dimulai, tercatat dalam batu prasasti. Wangsa Syailendra rontok, akibat perang saudara, terpendam lumpur letusan Gunung Merapi. Sriwijaya dengan Pandaya serta raja lautan, rontok karena perang saudara. Majapahit dengan panji gula kelapa, merah putih, Bhineka Tunggal Ika, hilang, kertaning bumi, karena Paregreg dan serbuan laskar putih Gelagah Wangi, Demak Bintoro. Sultan Trenggono musnah, karena keponakan sendiri, Arya Penangsang putra Pangeran Seda Ing Lepen. Sultan Pajang, Hadiwijoyo, Joko Tingkir, Mas Karebet, cucu Brawijaya selesai, digulingkan anak angkatnya sendiri, Raden Ngabehi Loring Pasar putra kandung Ki Ageng Pamanahan, penasihat politik Kesultanan, cucu Ki Ageng Selo sahabat karib Kebo Kenongo ayah Hadiwijoyo.
Kita lahir dari Sriwijaya dan Majapahit. Generasi pertama, dengan semangat serta cita-citanya mempersatukan kita sebagai manusia yang merasa senasib untuk hidup bersama. Di bumi kepulauan, diantara dua benua yang menghimpit kita. Dipantara, kepulauan diantara dua benua.   
Sunda Kelapa, Batavia, Jayakarta, Jakarta, Jogyakarta kembali ke Jakarta. Leluhur kita perang dengan Kompeni, pedagang berseragam tentara, meletuskan meriam, menembakkan senjata. Nusantara terbakar, membara, membakar angkasa.
Mereka generasi kedua. Dipandu katulistiwa, bertempur untuk membebaskan tanah leluhur kita, manusia yang mendiaminya. Berperang demi bangsa, seperti bersetubuh menciptakan bayi bangsa kita. 
Kaca benggla! Ratu Shima! Sumpah Palapa! Negara Kartagama! Sotasoma! Bineka Tunggal Ika!
Kegagahan, idealisme, petarung sejati, pantang berjiwa kerdil. Bukan hanya bangsa Amerika atau Eropa, kitapun memiliki sejarah besar! Jikapun Hitler sering membentak anak kecil yang menangis, jangan menangis wahai kamu keturunan ras Aria, karena kamu anak Jerman! Kitapun akan berteriak lantang, jangan mengemis dan bermental kuli wahai kamu, karena kamu anak Nusantara, bapakmu Matahari yang berputar di atas bumi kita, Ibumu samudera luas yang melindungi bumi kita. Kamu anak Indonesia, putra Nusantara!
Sanggrama Wijaya bersekutu dengan Arya Wiraraja serta tentara Mongolia, mengubur Jayakatwang penguasa Kediri. Menang menghancurkan Jayakatwang, kocar-kacir, tunggang langgang tentara Mongolia diusir laskar hutan. Hutan, pemberian Raja Kediri, banyak ditumbuhi pohon berbuah warna hijau berasa pahit, buah maja terasa pahit. Majapahit dibangun dengan keringat orang-orang Madura, pasukan Arya Wiraraja, Manggala Utama Singosari yang diusir oleh Kertanegara.
Majapahit yang baru berdiri, merdeka, sanggup mengusir tentara Mongol penguasa Asia Raya, dengan kekuatan serta tipu daya.
Berjuang ternyata banyak lika likunya, tapi yang jelas, jangan memperbanyak musuh akan tetapi perbanyaklah sekutu!
Perang saudara! Perang dengan musuh bangsa! Merebut tahta, memperjuangkan cita-cita serta harga diri. Kekuasaan, kedaulatan, tidak mungkin satu bangsa mampu mengatur rumah tangganya, tanpa kekuatan, tanpa kedaulatan. Untuk berdaulat haruslah kuat, kuat keyakinan, bulat keinginan. Tanpa ekonomi yang mandiri, tidak mungkin ada kekuatan serta kedaulatan apalagi kemakmuran. Tanpa kekuatan serta kedaulatan tidak mungkin membangun ekonomi.
Republik Rakyat Tiongkok dibangun di atas satu Partai Negara dan Tentara.
Sejarah kebangsaan, sejarah kedaulatan.
Perang!
Kita juga berperang melawan Belanda, Portugis, Jepang dan Inggris. Bambu runcing, golok,arit, tombak, keris, senjata api seadanya, kita sanggup menghadapi tentara Inggris di Surabaya. Dengan semangat, kekuatan, kepemimpinan yang gagah berani, kita berperang. Perang mempertahankan kemerdekaan dan harga diri. Perang demi selembar kain dan sebuah lagu. Perang untuk pembebasan Bangsa. Perang Ambarawa, Perang menduduki Jogyakarta, Bandung lautan api. Itu kaca benggala kita, kita bangsa yang berani, bukan bangsa pecundang.
Bung Tomo : "Hai tentara Inggris, kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu, kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu, kau menyuruh kita membawa senjata-senjata yang telah kita rampas dari tentara Jepang untuk diserahkan kepadamu, tuntutan itu walaupun kita tahu, kau sekalian akan mengancam kita, untuk menggempur kita dengan seluruh kekuatan yang ada. Tetapi inilah jawaban kita: Selama banteng-benteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih, merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga."
Sebelumnya, perang juga sudah berkecamuk, membakar bumi Nusantara. Perang melawan kelicikan organisasi dagang pemerintah Belanda,VOC, melawan Portugis. Perang Ternate, Perang Maluku, Perang Makasar, Perang Jawa, Perang Minangkabau, Perang Banten, Perang Aceh.
Apapu latar belakang serta kondisi pada waktu itu, sebelum ada KOGAM, KOTI tahun enam puluhan, mengganyang tangan imperialis Inggris di Malaka, Patiunus, Panglima Perang kerajaan Demak dengan angkatan lautnya tahun 1512, telah menyerang pendudukan Portugis di Malaka. Dilanjutkan oleh generasi berikutnya Sultan Agung, penguasa alas Mentaok Mataram, dengan pasukan kavaleri serta infantrinya tahun 1628 menyerang Batavia. Trunojoyo yang bersekutu dengan Kraeng Galesung dari Sulawesi melawan VOC dan agennya Sultan Amangkurat I dan Cakraningrat II, tahun 1674. Belum lagi Pangeran Samber Nyowo bersama Laskar Cina dari Kartosuro tahun1742 menyerang VOC yang didukung Pakubuwono II. Kaca benggala, sejarah perjuangan bangsa kita.
Diponegoro awal berperang karena membela harga diri anak bangsa leluhurnya, setelah toleransi terhadap keberadaan penjajahan Belanda dijawab dengan kesombongan serta kebrutalan. Penjajahan tidak perlu menghargai siapapun, jika hal itu tidak menguntungkan. Lepas, akhirnya Diponegoro berperang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Kolonial, walau awalnya hanya sebatas di daerah Tegalrejo.
Perlawanan Diponegoro bertemu dengan keresahan rakyat, kelaparan, ditindas menjadi budak-budak Kolonial.
Meletuslah perang Jawa, membangkrutkan Negara Kolonial, Hindia Belanda.
Perang lokal dengan cara lama ternyata tidaklah cukup untuk mengusir kekuasaan Kolonial. Perang modern harus segera dilakukan. Maka beberapa tahun berikutnya Samanhudi, pedagang pribumi, klas menengah sadar, bangkit, merebut kedaulatan serta harga diri. Pedagang batik dari Laweyan, Solo, mendirikan Sarikat Dagang Islam untuk melindungi kepentingan ekonomi pribumi, menghadapi pedagang Tionghoa. Kemudian membangun persatuan pedagang untuk menghadapi Kolonial Belanda. Muncullah Haji Oemar Sahid Tjokroaminoto, klas menengah yang sadar dari Surabaya, orator, guru dan mertua pertama dari Kusno, Sukarno. Ratu Adil telah menjelma di dunia.
Semaun yang tukang bikin teh dan kopi, bangkit menjadi tokoh pemuda Semarang, mengobarkan semangat api perlawanan. Organisasi! Organisasi, alat perang modern. Tanpa organisasi yang besar dan kuat tidak akan menang bereperang! Vergadering, boycott menjadi bentuk perjuangan rakyat melawan penindasan. Generasi ketiga, memimpin pergerakan, menyongsong kemerdekaan.
Kita tengok sebentar sejarah Negara Sakura. Negara samurai dan para ninja. Tidaklah berbeda jauh proses penyatuan nasionalnya dengan sejarah Dipantara. Perang saudara, penaklukan, perluasan, membangun bangsanya. Sebelum Jepang berdiri, Nobunaga dari Owari, Toyotomi Hediyosi, Iyasu juga berperang menaklukkan penguasa benteng-benteng di seluruh negeri Sakura. Jepang berdiri tegak, di sebelah Cina dan Korea, membangun singgasana, menobatkan diri menjadi raja Asia.
Cina juga begitu. Daratan yang luas, dikuasai para dinasti, serta raja perang, sampai Sun Yat Sen mendirikan Republik dengan tiga sendi kedaulatan rakyat Cina, San Min Chu I, Mintsu, Minchuan, Min Sheng : Nasionalisme, Demokrasi, Sosialisme. Republik Rakyat Cina lahir, hasil perjuangan kaum nasionalis melawan Raja Perang, Perang melawan Jepang, Perang saudara, sampai mereka merdeka 1 Oktober 1949.
Rakyat India juga berperang melawan Kolonialisme Inggris, dari perang fisik sampai perang modern, Gandi si kurus menjadi salah satu pendekar utamanya. Ahimsa, Satya Graha, Hartal, Swadesi. Tanpa kekerasan, tidak bekerja sama dengan Inggris, mogok sampai memboikot produk Inggris.
Dari perang saudara untuk membangun sebuah bangsa. Bertempur mempertahankan kebangsaannya. Kedaulatan bangsa, kemerdekaan bangsa, harus direbut. Bukan pemberian, buka karena belas kasihan. Penjajahan tidak mengenal belas kasihan.
Tahun 1932, di depan pengadialan Kolonial, Sukarno dengan lantang berseru :
"Kita menjadi negeri yang hidup dari bangsa lain, kita menjadi penyedia bahan mentah untuk mendukung kemajuan industri bangsa lain, kita menjadi pasar penjualan hasil industri bangsa lain dan bangsa kita hanya menjadi sasaran penghisapan perusahaan asing. Itulah wajah Indonesia, sejaka jaman kolonialisme Belanda sampai sekarang".
Penjajahan bukanlah kawan. Penjajah selalu membangun kekuatan untuk menghisap bangsa yang dijajah. Mereka adalah perompak, bajak laut yang akan menjarah dan merebut perahu kita beserta isinya, mengemudikan sesuai dengan kepentingan mereka. Mereka bukanlah bangsa sahabat, karena menindas kita, harus dilawan dengan segala kekuatan.
Dulu kita hanya memiliki selembar kain berwarna merah putih dan sebuah lagu, kita bisa merdeka, kenapa, karena kita punya harga diri, cita-cita dan semangat untuk merdeka sebagai sebuah bangsa.
Bukan seperti nakhoda perahu kita. Bertekuk lutut, mencium kaki para perompak dengan mengorbankan apa yang kita miliki, termasuk harga diri kita. Cilakanya lagi, para perompak dianggap sebagai kawan baiknya untuk mengarungi lautan yang berombak ganas ini. Benar-benar buta dan tuli.
Mereka itulah para pengecut yang menjerumuskan kita semua. Mengagung-agungkan kekuatan tuannya, dan tidak percaya dengan kekuatan kita sendiri.
Bangsa kita adalah bangsa yang suka persahabatan, selama persahabatan itu adil, tidak imperialis!
Membangun bangsa hanya tiga hal modalnya, kita bisa makan, kita punya kekuatan dan saling percaya diantara kita, sudahlah cukup. Kalau toh kita tidak punya kekuatan, asal kita masih bisa makan dan saling percaya, kita masih bisa. Tidak bisa makanpun, kalau kita masih saling percaya, kita masih sebagai sebuah bangsa. Itu ibaratnya. Maka jangan pernah takut serta menjadi pengecut.
Cina hanya berawal dari beras, kapas dan baja. Enam puluh tahun, enam puluh tahun, mereka membangun bangsanya, dengan reformasi agraria, dengan menyusun undang undang perkawinan, merubah budaya bangsanya, sekarang sudah menjadi penguasa dunia.  
Enam puluh lima tahun kita merdeka. Enam puluh lima tahun, seolah-olah kita tidak berbuat apa-apa, membangun demokrasi, jiplak sana-sini, akhirnya ribut sendiri, ujungnya menjadi bangsa kuli di tanah airnya sendiri. Bangsa kebo, diantara kuda-kuda dan singa.
Kita memiliki semuanya! Kenapa kita harus tunduk kepada mereka yang jelas-jelas menjajah kita.
Pada awalnya bangsa Cina hanya memiliki San Min Chu I, kita pun juga punya Pancasila, selembar kain dan sebuah lagu.
Jangan takut berjuang untuk mengambil hak kita sendiri. Berjuang untuk mengambil kembali tambang-tambang kita yang dijarah perompak imperialis. Bersikap tegas untuk menghapus hutang yang telah memenjarakan kehidupan rumah tangga bangsa kita. Bertempur untuk membangun bangsa kita sendiri. Jalan kita adalah JALAN SUCI! Bertarung untuk harga diri!
Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada:
"Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa".
 
("Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, "Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik (Singapura), demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".)
 
Hidup adalah pertempuran, sebelum ada perdamaian. Perang sebelum ada kedamaian, sebelum terwujud keadilan, sebelum kematian. Perang dilakukan untuk membuat perubahan. Perang modern, dengan pikiran modern, cara-cara modern. Berjuang untuk membebaskan diri adalah jalan terbaik, pertempuran yang adil.
Jangan jadi tukang jiplak, seperti saudara kandung kita, yang nakal karena mengidolakan cerita-cerita jaman dulu kala, dari negeri Atas Angin. HAH! Hidup dan berjuang haruslah dialektis. Disesuaikan dengan kondisi bangsa kita sendiri. Begitulah! Heroisme perlu, tapi yang tepat dan rasional.
Berubah, kita ingin perubahan sekarang juga! Merubah diri kita untuk merubah bangsa kita.
Mari kita Ikrarkan kembali Sumpah Palapa. Sumpah generasi pertama, Majapahit dan Sriwijaya membangun Nusantara, generasi kedua mengangkat senjata mengusir Kolonialisme kuno Belanda. Generasi ketiga mengkombinasikan perang gerilya dengan organisasi massa mengusir penjajah membangun bangsa. Generasi keempat, kita generasi ke empat. Tugas kita jelas, membebaskan kembali Nusantara.
Ikrarkan Sumpah kita, semangat abad XIII yang lalu! Untuk merebut kembali perahu besar kita, membebaskan bangsa kita, mengarungi samudera bersama-sama, dendangkan lagu Barisan Ibu serta Indonesia Raya, di sepanjang katulistiwa, membelah cakrawala.
Membebaskan bangsa besar, adalah tugas besar, cita-cita besar, haruslah dengan alat yang besar. Sumpah Palapa, kaca benggala kita.
Senja kala Jakarta,
awal tahun 2010
 
*) Penulis adalah Sekretaris Jenderal Komite Pimpinan Pusat- Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Yusril Seret SBY ke Kasus Sisminbakum & Century


Yusril Ihza Mahendra
Jakarta- Mantan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra naik darah, ikrar 'mati satu mati semua' mulai dibuktikan. Yusril akan mengeluarkan jurus pamungkas menyeret Presiden SBY ke dalam kasus Sisminbakum dan Bank Century.
Kepada INILAH.COM Jumat (16/7) Yusril mengatakan, Kejagung tidak memahami bahwa sesungguhnya kasus Sisminbakum memiliki keterkaitan dengan berbagai kasus yang ada saat ini.
"Anda dapat melacak perebutan TPI itu antara siapa dengan siapa, tindakan Jaksa Agung sungguh ceroboh menjadikan saya tersangka," kecam Yusril.
Saat ini terang Yusril, medan pertempuran kasus Sisminbakum telah melebar. Bukan hanya dirinya dengan Kejagung, tapi juga dengan Presiden SBY.
"Saya bukan saja dapat menarik Presiden ke dalam kasus Sisminbakum, tapi akan melebar ke kasus Century yang paling ditakuti SBY," ancam Yusril.
Sehubungan dengan itu, politisi asal Bangka Belitung ini menegaskan dirinya tidak akan mundur selangkah pun juga. Ikrar 'mati satu, mati semua' yang pernah dikumandangkan akan dibuktikannya.
"Kejagung akan menerima resiko didamprat Presiden SBY karena ulah mereka sendiri," tegasnya.
Iring-iringan SBY ke Cikeas Sengsarakan Rakyat

Jakarta - Seorang pengguna jalan tol Jagorawi mengungkapkan dirinya dan pengguna jalan ton lainya, tersiksa, sengsara, dan terintimidasi oleh Patroli Pengawalan (Patwal) Presiden setiap kali Presiden dan keluarganya melintasi jalan itu.
Hendra NS, warga Cibubur, mengungkapkan kekecewaannya melalui surat pembaca di Harian Kompas, edisi Jumat (16/7).
"Pak SBY yang kami hormati, mohon pindah ke Istana Negara sebagai tempat kediaman resmi Presiden. Betapa kami saban hari sengsara setiap Anda dan keluarga keluar dari rumah di Cikeas. Cibubur hanya lancar buat Presiden dan keluarga, tidak untuk kebanyakan warga," tulis Hendra yang mengaku berprofesi sebagai wartawan.
Dalam suratnya Hendra menjelaskan bahwa mobilnya dipukul oleh Polisi dan dimarah-marahi di depan anaknya yang masih kecil. Anak itu pun ketakutan.
Kejadian ini terjadi pada Jumat (9/7) sekitar pukul 13 siang.
Pangkal soal kejadian ini, menurut Hendra, dimulai ketika mobil Patwal di depan dia memerintahkan untuk menepi ke kiri. Hendra pun mengikuti perintah polisi itu. Tapi tak berapa lama, terdengar suara dari pengeras suara yang memerintahkan mobil Hendra untuk menepi ke kanan.
Dia pun mengikuti perintah pengeras suara itu. Namun, baru saja bergerak, polisi yang berada di depannya memerintahkan arah kebalikannya.
Mendengar perintah yang saling bertolak belakang, Hendra bingung dan panik. Dia lalu memilih untuk berhenti tepat di tengah-tengah jalan tol untuk memastikan sekali lagi perintah mana yang benar.
Polisi yang di depan mobil Hendra justru turun yang menghajar kap dan spion mobil Hendra. "Apa mau saya bedil?" teriak polisi yang identitasnya tidak diketahui oleh Hendra.
Karena suasanya makin panas, Hendra memberi tahu polisi bahwa dia seorang jurnalis. Tapi hal itu malah membalas dengan kata-kata ini: "Kami ini tiap hari kepanasan dengan gaji kecil. Emangnya saya mau kerjaan ini."

Pasal 17 Undang-Undang SJSN Digugat ke MK

IMG_4658
Elemen yang tergabung Koalisi Jaminan Sosial Pro Rakyat, melalui pengacara Hermawanto SH., melakukan gugatan Judicial Review terhadap pasal 17 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) ke Mahkamah Konstitusi pada 1 Juli 2010. Pasal 17 UU tersebut mengatur mengenai kepesertaan jaminan sosial.
“Di sini terdapat diskriminasi terhadap rakyat miskin. Sederhananya rakyat miskin tidak boleh tua, tidak boleh pensiun, dan tidak boleh meninggal dunia, karena semuanya itu tidak dijamin oleh negara. Untuk jaminan kesehatan pun, satu-satunya yang dijamin negara, hanya premi pertama yang dibayarkan oleh negara, selanjutnya fakir miskin ini tetap wajib iuran. Ini bertentangan dengan konstitusi.” Ungkap Hermawanto dalam konferensi pers di Sekretariat Bersama Koalisi di Jakarta Selasa, 12/07.
Para penuntut, yang tergabung dalam Koalisi Jaminan Sosial Pro Rakyat ini, terdiri dari 3 orang pengguna Jamkesmas, 1 orang pengguna Askes, 1 orang buruh pengguna Jamsostek 1 orang pembayar pajak, Dewan Kesehatan Rakyat (DKR), Institute For Global Justice (IGJ), Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI).
“Kami sangat mendukung adanya sebuah sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tapi Undang-Undang ini justru tidak berlaku adil terhadap rakyat miskin. Dengan tuntutan ini tidak berarti rakyat miskin manja, meminta belas kasihan negara. Justru kami terus berkontribusi, membayar pajak dari berbagai aktivitas ekonomi.” Tambah Ketua Umum SRMI, Marlo Sitompul selaku salah satu penggugat.
Sementara, menurut Ketua FNPBI Dominggus Oktavianus, dampak kewajiban iuran peserta tentu akan memberatkan bagi pekerja berpenghasilan rendah dan bagi industri kecil-menengah. Presentase iurannya belum ditentukan, dan justru di sini bisa menjadi celah yang merugikan buruh/pekerja. Potongan 5% gaji bagi pekerja yang berpenghasilan rata-rata satu juta rupiah sudah sangat berat, ujar Dominggus.
Sampai saat ini Undang-Undang SJSN belum dijalankan, antara lain karena menunggu selesainya pembahasan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Badan inilah yang nantinya mengelola seluruh iuran peserta yang terkumpul, yang diperkirakan akan mencapai 700 triliun rupiah pada tahun 2014 nanti.
Pancasila, dari Trauma ke Persatuan Anti Neolib
Oleh: Gede Sandra*)
De-Sukarnoisasi ala Orde Baru

"Lahirnya Pantjasila, Membangun Dunia Kembali, dan Penfjelasan Manipol/Usdek adalah merupakan rangkaian jang sangkut bersangkut untuk harus kita ketahui dalam alam sekarang ini jaitu untuk menudju masjarakat Sosialis Indonesia."

(Kuitipan dari Buku "Seri Tanja-Djawab Buku2 Manipol: 260 Tanja Djawab Lahirnja Pantjasila, Membangun Dunia Kembali (to build the world new), Pendjelasan Manipol-Usdek". Penerbit Miswar Djakarta, tjetakan pertama, 1965" hal. 7)
Banyak kamerad di kalangan kaum gerakan dan intelektual yang cukup kaget saat mengetahui Pancasila coba diangkat Partai Rakyat Demokratik (PRD) dari "lumpur kenistaan" ke tempat yang lebih bersih, terang dan tinggi. Sebagiannya malah keblinger, menuduh PRD sudah bergeser ke sebelah kanan, PRD sudah ditunggangi intelejen negara, PRD akan menjadi organisasi reaksioner, PRD akan melakukan penataran P4 seperti layaknya di zaman kegelapan dahulu, dan lain-lain dan sebagainya. Namun, semua itu justru menyiratkan pendeknya ingatan kolektif rakyat kita tentang Pancasila. Sangat disayangkan hanya Pancasila yang "kanan", Pancasila yang "pembunuh", dan Pancasila yang "bengis" a'la Jenderal Suharto yang masih diingat, bukan Pancasila yang sesuai keinginan sang penggali Ir. Sukarno: Pancasila yang kiri.

Stigma kanan Pancasila diperoleh dari hasil pendistorsian panjang Orde Baru. Karena banyak aktivis dan intelektual oposan kerap menjadi "korban" represi/intimidasi dari kelompok-kelompok yang mengklaim membela Pancasila, maka adalah wajar jika rasa trauma terhadap segala yang berbau Pancasila atau asas tunggal masih agak lekat. Mimpi buruk selama Orde Baru ini belum ditinggal, masih dibawa-bawa sehingga menjadi beban psikologis (semacam mental blocking) sampai sekarang.

Bukan salah kaum muda yang lahir di zaman Orde Baru jika mereka tak mampu mengingat Pancasila-nya Ir. Sukarno. Yang salah tetap adalah Jenderal Suharto yang telah mendistorsi esensi Pancasila selama 32 tahun (1965-1998). Selama itu pula Pancasila tampil dalam raut wajah yang bengis dan kejam. Namun, seperti kita menghadapi penyakit-penyakit mental umumnya, trauma yang diderita akibat Pancasila Orde Baru tidak boleh dipersalahkan, apalagi dihakimi, yang seharusnya dilakukan adalah mengobatinya (healing).

Jika diurai, sebenarnya trauma terhadap Pancasila berakar pada dua hal sbb:

1. Devide et impera antara Pancasila dengan Kaum Kiri

Pada pertengahan tahun 1965-1967, selagi Jenderal Suharto tengah melakukan "kudeta merangkak" (creeping coup, pen: baca buku terbaru John Roosa tentang Dalih Pembunuhan Massal), ia menyempatkan menetapkan tanggal 1 Oktober 1965 sebagai Hari Kesaktian Pancasila melalui Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Darat tanggal 17 September 1966 (Kep 977/9/1966). Narasi tunggal yang hendak didesainnya saat itu adalah seakan-akan Pancasila sebagai dasar negara berusaha diserang oleh kaum kiri, dan ia adalah satu-satunya pahlawan penyelamat Pancasila. Dengan dalih penyelamatan tersebutlah, Jenderal Suharto seperti mendapat restu untuk membunuh secara massal ratusan ribu sampai jutaan kaum kiri di Indonesia hanya dalam waktu 3 tahun. Kesuksesan adu domba tersebut diteruskan untuk selama masa 32 tahun berikutnya, di mana Pancasila selalu dijadikan momok untuk membungkam sisa-sisa kaum kiri (yang selamat dari pembunuhan massal atau bebas dari penjara/kamp kerja paksa) ataupun kaum kiri baru yang lahir di era 1980an (seperti PRD). Maka dari itu, kita boleh saja untuk ke depannya membulatkan tekad, mengusulkan untuk pergantian nama tanggal 1 Oktober dari Hari Kesaktian Pancasila menjadi Hari Kesaktian Orde Baru.

2. Pembohongan Asal Usul Pancasila

Sebuah kebohongan pun jika dipropagandakan ribuan kali dapat bermutasi menjadi sebuah kebenaran publik. Itu adalah teknik dari Menteri Propaganda Nazi Jerman Goebbels yang biasa disebut "Big Lie", yang ternyata dipraktekkan dengan sangat baik oleh Jenderal Suharto di Indonesia selama 32 tahun pemerintahannya. Kebohongan/distorsi terutama dari Jenderal Suharto adalah tentang tanggal lahir dan penggali sejati Pancasila, yang dipropagandakan intensif melalui Pelajaran Sejarah dan Perjuangan Bangsa (PSPB) dan penataran-penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Orde Baru menyebut, bahwa tanggal 18 Agustus 1945 adalah hari lahir Pancasila dan Mr. Mohammad Yamin adalah penggalinya. Padahal yang sebenarnya adalah Pancasila lahir pada tanggal 1 Juni 1945 dan Ir. Sukarno adalah penggalinya. Jelas sekali ini adalah upaya de-Sukarnoisasi yang "sistemik". Meski kemudian kebohongan ini sempat dibantah oleh testamen Dr. Mohammad Hatta pada tahun 1976 , Orde Baru tetap tidak bergeming hingga Reformasi menggulingkannya. Baru setelah itu penataran P-4 dibubarkan, PSPB dicabut, dsb.

Dapat dirangkai dari kedua akar di atas, bahwa trauma terhadap Pancasila sejatinya disebabkan oleh mega proyek de-Sukarnoisasi Orde Baru. Taktik Orde Baru ini pun bukan tanpa alasan yang strategis, mengingat betapa kuatnya persatuan antara kaum kiri bersama Ir. Sukarno menjelang 1965. Pada masa itu kaum kiri adalah pendukung sejati Ir. Sukarno, karenanya untuk melumpuhkan politik Ir. Sukarno, kaum kiri harus dipisahkan darinya dan dihabisi terdahulu. Barulah Ir. Sukarno menjadi lemah dan mudah digulingkan, setelah terlebih dahulu diisolasi dari rakyat yang menjadi energi perjuangannya sejak muda.

Akhirnya sejarah mencatat, bahwa Pancasila yang awalnya dilahirkan Ir. Sukarno untuk memerangi imperialisme dan kolonialisme, berdistorsi menjadi alat yang digunakan Jenderal Suharto untuk tanpa keadilan mempersilahkan datangnya penjajahan gaya baru selama 32 tahun dan tanpa kemanusiaan menghabisi lawan-lawan politiknya.

Pancasila untuk Persatuan Anti Neoliberal

"Lima Sila ini kalau disatukan menjadi kepal akan menjadi tinju untuk menunju imperialis, lawan-lawan bejat, lawan-lawan kemerdekaan, penjajah yang menjajah Indonesia. Ini kepal rakyat Indonesia yang bersatu!"

(Cuplikan pidato Soemarsono, pimpinan Pemuda Republik Indonesia dan kader Partai Komunis Indonesia (PKI) ilegal pada tanggal 21 September 1945 di tengah RAPAT SAMUDERA yang dihadiri 150 ribu massa Marhaen di Stadion Tambaksari. Dikutip dari Buku Revolusi Agustus, Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah, penerbit Hasta Mitra, 2008, hal. 37)

Obat dari trauma rakyat terhadap Pancasila hanyalah pembangkitan kembali ingatan kolektif perjuangan rakyat merebut (kembali) kedaulatan nasional sepanjang periode 1945-1965. Ingatan suram tentang Pancasila yang "reaksioner" di masa Orde Baru harus ditinggalkan, sedangkan ingatan tentang Pancasila yang "revolusioner" di masa Ir. Sukarno harus terus menerus digali kembali.

Pancasila yang akan kita emban bukanlah Pancasila-nya Orde Baru yang mengizinkan ExxonMobil, Freeport, Chevron, Inco, Vico, BHP Billiton, Thiess, ConocoPhilips, GoodYear, Total, Newmont, dll menjajah kekayaan alam bangsa. Pancasila yang kita ingin munculkan kembali adalah yang digunakan oleh Ir. Sukarno sebagai "pembenaran" untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, mengusir modal asing yang menghisap jauh-jauh dari bumi Indonesia (dengan atau tanpa ganti rugi). Jika dikontekstualisasi ke zaman ini mungkin tidak akan jauh berbeda: bukan Pancasila yang mengabdi kepada rezim neoliberalisme, tetapi Pancasila yang mendamba akan kedaulatan nasional sepenuhnya demi keadilan sosial seluas-luasnya menuju sosialisme Indonesia.

Dengan perkataan lain, Pancasila yang akan kita amalkan harus memiliki semangat anti penjajahan, anti penghisapan manusia atas manusia ataupun penghisapan bangsa atas bangsa, semangat pembebasan nasional menuju cita-cita sosialisme Indonesia seperti digariskan oleh Pembukaan UUD 1945.

Dengan berpegangan pada Pembukaan UUD 1945, kita dapat merangkum setiap esensi dari perjuangan anti neoliberal di semua sektor rakyat ke dalam butir-butir Pancasila. Dari sari-sari perjuangan kita di lapangan perburuhan, kaum miskin perkotaan, petani, hingga mahasiswa-pelajar dan kebudayaan dapat kita sempalkan semua ke dalam Pancasila. Dan masing-masing sektor dapat saling mendukung perjuangan di sektor lainnya secara bahu membahu, holobis kuntul baris. Inilah watak sejati Pancasila yang lebih dikenal sejak masa nenek moyang kita dengan istilah gotong royong (1) .

Semisal dalam soal outsourcing dan sistem kerja kontrak, kita akan bilang bahwa konsep labour flexibility milik neoliberal tersebut bertentangan dengan pengamalan Sila ke 2 Kemanusiaan yang Adil dan Beradab sekaligus juga Sila ke 5 Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Atau semisal juga tentang maraknya penggusuran kampung kumuh di perkotaan yang mengekspresikan program City Without Slump milik neoliberal, kita juga dapat bilang itu melanggar sila ke 2 dan ke 5. Artinya, sepanjang Menakertrans masih "mengamalkan" sistem outsourcing dan kontrak yang menghisap kaum buruh se-Indonesia; atau sepanjang Gubernur DKI Jakarta masih rajin "mengamalkan" penggusuran terhadap anak jalanan dan perkampungan kumuh, sepanjang itu jualah mereka dengan sengaja telah melanggar Pancasila sila ke 2 dan ke 5 sekaligus. Menjadi sah kemudian jika kita jatuhkan tudingan bahwa Muhaimin Iskandar adalah musuh Pancasila, karena masih membiarkan kaum buruh Indonesia bergelimang dalam perbudakan modern; dan Fauzi Bowo juga adalah musuh Pancasila, karena tidak pernah melindungi hak hidup warga miskin Jakarta. Gampangnya, kedua oknum pejabat tersebut adalah musuh Pancasila, maka mereka adalah musuh bersama kaum buruh dan kaum miskin kota.

Kesimpulan akhir: neoliberal dan semua operatornya adalah musuh Pancasila; dan semua kaum yang dirugikan (oleh neoliberal) wajib bergotong royong bersatu dalam aksi menentangnya.

*****

(1) Pada sidang di mana Ir. Sukarno berpidato tentang Pancasila tanggal 1 Juni 1945, ia diminta oleh pimpinan sidang untuk memerah Pancasila (5) menjadi Trisila (3) dengan pertimbangan lima sila masih terlalu panjang. Ia menyanggupi dan menyebutkan Trisila, yaitu Sosio-demokrasi, Sosio-nasionalisme, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan. Namun pimpinan sidang masih kurang puas dan menantang Ir. Sukarno apakah dapat memerah tiga sila menjadi satu sila saja. Dan Ir. Sukarno kembali menyanggupi, ia menyebut Gotong Royong (pen)

"Pancasila jangan sebatas wawasan saja, tetapi harus menjadi ideologi aksi dalam praktek."

Joesoef Isak dalam suatu tulisan pengantar di tahun 2008 (sebelum tutup usia)

"Tetapi Republik Indonesia menghadapkan kita dengan satu keadaan jang istimewa. Rakjat adalah beraneka ragam, beraneka adat, beraneka ethnologi. Rakjat yang demikian itu membutuhkan satu "dasar pemersatu". Dasar pemersatu itu adalah Pantjasila."

Ir. Sukarno, dalam suatu sambutan tanggal 17 Agustus 1955
 
*) Sekretaris Jenderal Komite Pimpinan Pusat- Partai Rakyat Demokratik (PRD)


Akhirnya dengan persetujuan DPR, pemerintah menaikkan harga Tarif Dasar Listrik (TDL) per 1 Juli 2010 yang besarnya berkisar antara 6-20%. Hanya dua kelompok pelanggan yang tidak mengalami kenaikan yakni pelanggan rumah tangga kecil dengan daya 450-900 VA karena dianggap tidak mampu serta pelanggan dengan daya di atas 6.600 VA karena sudah membayar TDL sesuai harga pasar.

Kenaikan TDL baik untuk rumah tangga maupun untuk industri meskipun diyakini tidak akan berpengaruh signifikan pada kenaikan barang produk industri, namun yang pasti kenaikan akan menyebabkan efek domino kenaikan TDL yang berawal dari kenaikan harga bahan baku di tambah berkurangnya daya beli konsumen. Para produsen dengan alasan kenaikan bahan baku dapat menaikan harga jual produk. Dan akhirnya pasti akan menyebabkan multiplier efek yang bermuara pada kenaikkan harga dan penurunan daya beli dan berujung pada penurunan produksi yang berdampak pada pemutusan hubungan karyawan/pengangguran.

Sesungguhnya alasan kenaikan ini selain tidak logis, juga mengorbankan rakyat banyak. Alasan kenaikan TDL adalah agar APBN-P 2010 telah tidak jebol atau mengalami defisit yang lebih besar. Seperti diketahui, dalam APBN-P 2010 yang diputuskan pada awal Mei lalu, subsidi listrik yang dianggarkan mencapai Rp 54 triliun. Untuk itu, diperlukan kenaikan TDL sebesar 10% untuk menutupi kebutuhan PLN akibat pengurangan subsidi sekitar Rp 10 triliun dari APBN 2009 sebesar Rp 64,46 triliun. Kebutuhan PLN harus disubsidi karena saat ini biaya yang dikeluarkan PLN untuk memproduksi listrik sekitar Rp 1.200 per kilowatt hour (KWh), sementara harga jual listrik BUMN listrik itu ke para pelanggannya hanya sekitar Rp 630 per Kwh.

Ide kenaikan TDL sesungguhnya diikuti juga dengan berbagai ide lain mengatasi dampak kenaikannya. Seperti diketahui, wacana listrik gratis untuk masyarakat miskin dicetuskan oleh Dirut PLN Dahlan Iskan. Listrik untuk masyarakat miskin gratis, namun untuk masyarakat mampu harus membayar sesuai harga keekonomiannya. Menurut perhitungan Dahlan, dengan memberikan seluruh subsidi kepada golongan masyarakat miskin (pengguna 450 mw) dan pembayaran normal atau sebesar biaya produksi listrik (Rp 1.000 per kwh) oleh golongan lain, maka PT PLN akan kehilangan dana sebesar Rp 1,5 triliun tetapi dapat penerimaan sekitar Rp 30 triliun.

PT PLN (Persero) mengaku kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) sebesar 10% pada bulan Juli 2010 masih belum bisa menutupi biaya pokok penyediaan (BPP) listrik yang dikeluarkan BUMN listrik tersebut. Kalau itu naik sebesar 10% berarti TDL-nya menjadi sekitar Rp 670 per Kwh. Jadi masih ada selisih. Namun kenaikan TDL sesungguhnya tidak membuat PT PLN diuntungkan maupun dirugikan. Hal ini karena kenaikan TDL dilakukan dengan tujuan untuk menekan subsidi listrik yang jumlahnya semakin membengkak dalam APBN. Bagi PT PLN sendiri, berapapun selisih antara BPP listrik dengan harga jual ke pelanggan itu kan akan dibayar dari dana subsidi dalam APBN.

Alasan lain pemerintah menaikkan harga TDL adalah karena hingga kini sekitar 18,9 juta keluarga miskin belum menikmati listrik. Untuk itu, kenaikan TDL pada bulan Juli mendatang diharapkan dapat meningkatkan jumlah masyarakat yang teraliri listrik. Menurut pemerintah, dengan kenaikan TDL sebesar 10%, sesungguhnya seluruh masyarakat yang sudah menikmati listrik termasuk pelanggan 450-900 Volt Ampere (VA) turut membantu pemerintah agar 18,9 juta keluarga miskin tersebut bisa ikut menikmati listrik.

Problematika Kelistrikan di Indonesia

Sesungguhnya persoalan kelistrikan di Indonesia adalah selain mahalnya biaya produksi listrik juga adalah kurangnya pasokan listrik sehingga banyak masyarakat yang tidak dapat menikmati aliran listrik listrik. Penyebab masalah diatas sesungguhnya adalah selain masalah inefisiensi, juga karena karena mahalnya bahan bakar pembangkit listrik yang berasal dari BBM serta pasokan bahan bakar pembangkit listrik yang tidak mencukupi. Jika bahan bakar pembangkit adalah BBM, maka kenaikan BBM pasti akan menyebabkan naiknya biaya produksi. Sebaiknya jika bahan pembangkitnya adalah batu bara dan gas yang harganya jauh lebih murah ternyata pasokan untuk kebutuhan dalam negeri justru tidak mencukupi, karena lebih banyak untuk kepentingan ekspor. Ini adalah hal yang sangat ironis.

Sesungguhnya mahalnya harga BBM dan kurangnya pasokan bahan baku pembangkit listrik dapat dengan mudah diatasi jika pemerintah menggunakan bahan baku yang murah dan pasokannya sangat besar. Bahan baku batu bara dan gas alam adalah solusi untuk mengatasinya, selain harga jauh lebih murah juga pasokannya sangat besar dan mencukupi. Namun kebijakan tersebut tidak diambil pemerintah. Bukankah pemerintah bisa membuat kebijakan untuk memberikan prioritas pasokan bahan baku industri dalam negeri ketimbang ekspor? Bukankah wewenang pengelolaan BUMN MIGAS ada pada pemerintah? Ataukah ada faktor lain sehingga seolah kebijakan energi yang ada tidak bisa di rubah?

Sebagai contoh, PT PLN (Persero) bersedia membeli gas dari proyek Donggi Senoro di Sulawesi Tengah dengan harga US$ 6-6,5 per millions metric british thermal unit (MMBTU). Bahkan PT PLN siap untuk menyerap berapa pun alokasi gas dari proyek Donggi Senoro. Rencananya, alokasi gas dari Donggi Senoro akan digunakan untuk bahan bakar pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) skala besar yang akan dibangun di dekat proyek tersebut. Listrik yang dihasilkan dari pembangkit tersebut akan digunakan untuk memperkuat listrik di Pulau Sulawesi. Bahkan kalau pasokan gasnya berlebih, sebagian akan digunakan untuk melistriki ambon dan sekitarnya.

Kebutuhan gas PLN terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2010 ini saja, BUMN listrik diperkirakan masih mengalami defisit. Berdasarkan data PLN, konsumsi gas PLN pada tahun ini diperkirakan mencapai 2.432 BBTUD, sementara yang tersedia baru 1.471 BBTUD sehingga masih terjadi defisit sebesar 961 BBTUD. Sementara pada tahun 2011 BUMN listrik itu masih mengalami defisit gas hingga sebesar 1.115 BBTUD meskipun Floating Storage and Regasification Terminal (FSRT) yang akan dibangun di Jawa Barat dan Sumatera Utara mulai beroperasi September 2011. Menurut Direktur Energi Primer PLN, Nur Pamudji, kenaikan jumlah defisit tersebut disebabkan kebutuhan gas untuk pengoperasian pembangkit-pembangkit listrik milik PT PLN meningkat. Selain itu, hal ini juga disebabkan adanya penurunan pasokan gas dari para produsen sebesar 70 BBTUD.

Namun pada saat PT PLN mengalami defisit pasokan gas, pemerintah telah mengesahkan alokasi gas dari lapangan Donggi-Senoro. Porsi gas domestik dari lapangan tersebut minimal 25 persen, sisanya untuk alokasi ekspor. Sebelumnya pemerintah nampaknya masih bingung untuk memutuskan alokasi gas Donggi-Senoro. Seperti diketahui, Proyek Donggi Senoro menjadi terkatung-katung karena adanya keputusan pemerintah dalam rapat yang dipimpin Wakil Presiden yang saat itu dijabat Jusuf Kalla yang memutuskan gas Senoro hanya untuk domestik.

Sungguh ironis, pada saat kebutuhan akan gas terutama dari PT PLN begitu besarnya, pemerintah justru mengalokasikan 75 % untuk ekspor. Padahal jika kebutuhan pasokan gas domestik mendapat prioritas, yakni didahulukan sebelum ekspor, maka kekurangan pasokan gas untuk PLN, Pabrik Pupuk dan pabrik lainnya akan terpenuhi. Ini secara pasti selain akan membuat harga produksi listrik turun, sehingga harga TDL tidak perlu dinaikkan atau bahkan mengurangi subsidi. Dengan ketersediaan bahan bakar pembangkit yang jauh lebih murah dan sangat besar, maka pemerintah melalui PT PLN dapat segera memperbesar kapasitas produksi listrik dan ini akan segera dapat mengatasi kekurangan pasokan serta menambah luasnya jangkauan pelayanan listrik kepada masyarakat.

Kebijakan pemerintah yang merubah keputusan alokasi gas Donggi Senoro dari awalnya 100% untuk keperluan domestik dirubah menjadi 25 % domestik dan 75% ekspor patut dicurigai. Kenapa pemerintah tidak mendahulukan kepentingan rakyat banyak dengan alokasi bahan bakar gas untuk PT. PLN yang lebih besar. Apakah karena ada kepentingan para pemungut rente yang tidak ingin kehilangan penghasilannya dari pasokan BBM ke PT. PLN selama ini? Juga apakah ada kepentingan pemungut rente karena komisi dari penjualan ekspor gas keluar negeri? Hal ini menjadi sangat mungkin mengingat besarnya rente yang akan dinikmati para makelar yang mengatasnamakan kebijakan negara. Padahal kebijakan tersbut semata-mata untuk kepentingan para pemungut rente dari kalangan pengusaha atau pemerintah yang tidak ingin penghasilan haram mereka hilang. Sehingga mereka rela mengorbankan kepentingan rakyat banyak dengan kebijakan yang mereka tempuh.

Sungguh, inilah dampak nyata dari sistem kapitalis yang menyuburkan kolusi antara pengusaha dan pengusaha. Terbentuknya negara koorporasi karena ada perselingkuhan antara pejabat korup dengan pengusaha hitam yang ingin meraup kekayaan sebesarnya dengan menghalalkan segala cara bahkan dengan harus mengorbankan rakyat banyak. Dengan dalih untuk kepentingan negara mereka membuat peraturan dan perundangan yang dapat melegalkan berbagai langkah dan kebijakan yang mereka tempuh. Dengan alasan amanah UU tentang kenaikan TDL, mereka dengan ringannya menaikkan TDL. Dengan dalih demi mengurangi defisit anggaran mereka rela menaikkan TDL. Dan dengan alasan investor asing, mereka rela menyerahkan pengelolaan tambang migas dan tambang-tambang lainnya kepada pihak asing dan pengusaha perorangan.